+Tulisan menjelang perayaan Hari Air Internasional 22 Maret 2008+
Air adalah komponen paling mendasar dan esensial bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanpa air, manusia tidak akan bisa bertahan hidup dalam hitungan hari, sehingga air menjadi komoditas paling utama dan mendasar untuk menjamin dan melindungi hak untuk hidup serta untuk memenuhi hak asasi manusia yang lain. Tanpa air yang layak, bersih, dan menyehatkan, manusia tidak akan bisa mencapai tahap kesejahteraan hidup yang layak untuk tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi dan menikmati berbagai hasil pembangunan.
Sebagai komoditas yang esensial dan menyangkut hajat hidup manusia keseluruhan, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin agar air tersedia dalam jumlah dan kualitas yang baik dan dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi. Lantas bagaimana dengan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia (HAM) atas air, terkait dengan momentum Hari Air Internasional setiap tanggal 22 Maret?
Meskipun sebagian besar permukaan bumi terdiri atas air, namun hanya 1 persennya yang layak dikonsumsi. Sembilanpuluh sembilan persen yang lain berupa air asin dan es di kutub yang tidak layak untuk dikonsumsi. Ketersediaan air yang sangat terbatas tersebut semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan manusia yang jumlahnya semakin bertambah, walaupun berbagai macam teknologi pemanfaatan air telah ditemukan, namun tidak mampu memenuhi permintaan penduduk yang laju populasinya tak terkendali.
Dalam kurun waktu 50 tahun, populasi dunia meningkat hampir 60 persen, dari 2,5 miliar jiwa pada tahun 1950 menjadi sekitar 6 miliar jiwa pada tahun 2005. Jumlah manusia yang semakin bertambah menimbulkan konsekuensi semakin besarnya tingkat kebutuhan akan air yang bersih dan menyehatkan untuk hidup dan aktifitas kehidupan lainnya. Dan pada saat yang sama, kualitas air yang bersih dan menyehatkan semakin terbatas dan langka, akibat tercemarnya air oleh aktivitas industri, kegiatan pertambangan, kegiatan rumah tangga dan perilaku individu yang tidak bertanggung jawab. Terjadi ketimpangan antara kebutuhan air dengan ketersediaan air dalam jumlah dan kualitas yang memadai, sehingga menimbulkan kompetisi perebutan sumber daya air, yang mencuatkan konflik dan kekerasan. Di sisi lain, ketimpangan ini dilihat sebagai peluang bisnis oleh sebagian pihak yang kemudian mengarah pada privatisasi air atau komersialisasi air.
Privatisasi air menjadi ancaman serius. Air ditempatkan sebagai komoditas, sehingga makin menjauhkan fungsi esensial air sebagai komoditas publik. Dengan privatisasi, hanya mereka yang berkemampuan ekonomi yang bisa mengakses air. Privatisasi yang hanya bertujuan mencari profit bukan menjadi solusi bagi kelangkaan air, namun menjadi masalah baru dan menjerumuskan negara dalam jebakan utang yang semakin dalam. Contohnya Perusahaan Air Minum Jaya di Jakarta yang terjebak utang luar negeri Rp 1,6 triliun dan Perusahaan Daerah Air Minum di Kabupaten Sleman Yogyakarta yang juga terjerat sebesar Rp 26 miliar sampai pada awal tahun 2008 ini. Utang menjadi justifikasi bagi masuknya korporasi asing untuk menguasai distribusi air yang berorientasi pada profit dengan cara menaikkan harga air.
Air sebagai bagian hak mendasar (fundamental right) semakin digeser fungsinya menjadi komoditas bisnis dan politik sehingga mengancam pemenuhan hak asasi manusia bagi 1,1 miliar jiwa manusia di dunia yang belum bisa mengakses air bersih dan 2,4 miliar jiwa lainnya yang tidak mempunyai fasilitas sanitasi memadai, yang sebagian besar hidup di Benua Afrika dan Asia. Hal ini diperparah oleh manajemen air di dunia yang sangat buruk sehingga mengakibatkan tidak efisiennya distribusi air berupa kebocoran air yang sangat besar. Di Asia, tingkat kebocoran air mencapai 42 persen, di Afrika 39 persen, di Amerika Latin 42 persen, dan di Amerika Utara 15 persen. Kebocoran air ini diduga dilakukan secara sengaja untuk dijual secara illegal untuk kepentingan memperkaya diri para pejabat yang bertanggung jawab dalam penyediaan air bersih.
Kesenjangan kemampuan ekonomi antara negara-negara barat dan timur, juga menimbulkan adanya ketidakadilan atas akses air yang sangat serius. Di Amerika Serikat, setiap orang mengkonsumsi 158 galon air setiap hari, sedangkan di Senegal, hanya 7,6 galon per orang. Artinya konsumsi air untuk satu orang di Amerika bisa dikonsumsi delapan orang di Senegal. Pola konsumsi yang boros dan tidak fair ini pada akhirnya akan menjerumuskan pada ketidakadilan yang lain, karena perilaku sebagian kecil manusia yang boros akan sumber daya air akan ditanggung oleh sebagian besar umat manusia lainnya.
Dampak selanjutnya penyakit yang muncul sebagai akibat kekurangan air (water shortage) dan ketidakadilan atas akses terhadap air pun semakin bertambah dan menelan korban jiwa yang semakin meningkat. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 80 persen penyakit di dunia (kolera, disentri, hepatitis), adalah akibat manusia telah mengonsumsi air yang tidak memenuhi standar kesehatan. Industrialisasi yang dipusatkan di perkotaan telah menciptakan permukiman kumuh yang sangat sulit dijangkau jaringan air bersih dan semakin akutnya tingkat pencemaran air. Tingkat pencemaran air di kota-kota di Asia, termasuk Indonesia, sangat tinggi, karena 90 persen limbah air langsung dibuang ke sungai tanpa proses pengolahan.
Dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, hak atas air diakomodasi dalam artikel 24: ”Negara wajib melakukan tindakan untuk memerangi penyakit dan kekurangan gizi pada anak melalui penyediaan nutrisi yang berkecukupan dan air minum yang bersih, dan juga memperhatikan bahaya dan resiko dari polusi lingkungan”. Kemudian Deklarasi Millenium yang mencetuskan proyek MDGs (Millenium Development Goals), yang merupakan komitmen para kepala negara/pemerintahan anggota PBB untuk memerangi kemiskinan global sampai antara tahun 2000-2015 menyerukan kepada pemerintah agar: ”menyediakan akses air bersih dan sanitasi yang memadai bagi masyarakat yang saat ini belum bisa menikmatinya”.
Namun demikian belum ada payung hukum, kebijakan dan implementasi program yang kongkret dari pemerintah Indonesia untuk menjamin ketersediaan air sebagai bagian dari hak asasi manusia. Yang terjadi adalah sebaliknya dengan disahkannya Undang-Undang No.7/2004 tentang Sumber Daya Air yang melegalisasi tumbuh suburnya bisnis air, sehingga bertentangan dengan berbagai Kovenan, Konvensi, maupun komitmen internasional hak asasi manusia yang menjamin air sebagai bagian untuk memenuhi hak asasi manusia Maka yang dibutuhkan sekarang kebijakan “air bagi semua” (water for all).
Tanpa itu, air hanya akan jadi komoditas bisnis dan politik yang tiada akhir, dikuasai oleh sebagian pihak dengan mencelakai lebih dari 100 juta jiwa di Indonesia dan lebih dari 3,5 miliar jiwa di dunia yang belum bisa menikmati air sebagai bagian dari pemenuhan hak asasinya.